THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Friday, October 22, 2010

[Fanfic] The Red Candy (9)

THE RED CANDY
Part 9

“Tolong..!! Tolong aku!!!”

Teriakan Takaki membahana di udara. Tenggorokan dan paru-parunya mulai sakit, terasa seperti terbakar.

Pemuda yang hampir berumur 20 tahun itu berlari secepat mungkin. Dia tahu 'makhluk itu' datang untuk membunuhnya. Dia dapat mendengar makhluk itu menerobos pepohonan di belakangnya dengan cepat.

Takaki menoleh ke belakang bahu kanannya, menahan sakit ketika memutar leher. Di kepalanya melìntas bayangan teman-temannya yang tadi bersamanya. Daichan, Keito, Inoo. Mereka terpisah ketika akan memasuki pintu rumah sakit saat ia secara tiba-tiba ditarik oleh tangan berkuku panjang mengerikan ke tengah hutan di belakang rumah sakit.

Air mata bergulir di pipinya. Dan makhluk itu makin dekat. Takaki dapat merasakan langkah kakinya yang berat berdentam keras dan cepat di permukaan tanah.

Bergerak. Dipaksanya tubuh yang terasa sakit dan lelah untuk terus bergerak. Dia sanggup melaju lebih cepat dari ini. Dia tahu dia sanggup.

Jalan setapak berkelok-kelok itu menyempit lalu berbelok mengelilingi batu besar yang ditumbuhi oleh lumut. Takaki merangkak dan bersusah payah maju menembus belitan dahan dan semak yang lebat.

Dia tiba-tiba berhenti. Dia tidak bisa maju lebih jauh.

Pagar tinggi tampak menjulang di atas tanaman. Pasti tiga meter. Berlapis-lapis kawat berduri setajam silet saling melilit dipuncaknya.
Sepotong lempengan logam memperingatkan: SANGAT BERBAHAYA! PAGAR BERLISTRIK!.

Takaki membungkuk dan menangkupkan tangan di kedua lututnya yang terbalut oleh bahan jeans. Dia menghembuskan nafas, terengah-engah, berusaha tidak menangis.

Makhluk itu hampir sampai. Dia dapat mendengar, membaui, dan merasakan kehadirannya yang mengerikan.

Ia menyerah. Kini ia pasrah pada takdirnya sementara makhluk itu sekarang hanya berjarak 3 meter di depannya. Melawan mungkin takkan banyak membantu. Dan melarikan diri sudah merupakan hal yang mustahil sejak ia terjebak oleh pagar listrik itu.
Tapi ia tak ingin mati sia-sia seperti teman-temannya yang lain.

Satu-satunya cara adalah menghadang makhluk itu dan membakarnya di pagar listrik. Namun niatnya terurungkan saat Takaki menatap wajah lawannya.

Ia tercekat tak percaya. Menatap bola mata merah darah serta sederetan gigi tajam yang muncul dari seringaiannya.

"bohong... Tolong katakan kalau ini bohong!!!!! Tidak mungkin itu KAU!!! tidak mungkin....."

Dan bau darah yang menyengat kembali menyerbak di udara bersamaan dengan jeritan ketakutan itu.

[Fanfic] The Red Candy (8)

“a-ahhh… Chii… B-eruntung kau belum tidur… Tolong aku…”

Tanganku mulai bergetar saat aku membuka kedua daun jendela dan membantu Hikaru yang sedang terkapar lemah di beranda untuk masuk kedalam kamar.

Dan bau ini kembali mengusik otak ku.

Warna merah menyala yang mengalir sangat deras dari bagian kepalanya dan menetes dibeberapa bagian tubuhku.

Tidak! Tidak! Tidak!!!!

Aku sudah berjanji pada Yuuto untuk menahan diri!!

“Chii…”

“…ya??”

“boleh aku… minta es batu… dan handuk? Telinga kiri ku… sakit sekali… terasa panas…”

Aku melihatnya. Benda kental itu meluncur deras dari telinga kirinya membasahi semua bagian tubuhnya. Aku hampir tidak menyadari kalau t-shirt yang dipakainya berwarna kuning, bukan merah.
Pendarahan yang sangat parah…

“y-ya … Tunggu sebentar!!”

Aku menuruni tangga menuju dapur rumahku dengan panik.
Dan otakku mendadak penuh. Aku benar-benar baru terbangun dari tidurku karena mimpi buruk yang menyebalkan… dan sekarang Hikaru yang tiba-tiba datang ke rumahku dengan tubuh berlumuran darah. Aku benar-benar belum dapat mencerna itu semua. Apakah ini mimpi??

Tapi bau dan hangatnya darah Hikaru yang terbalur di tanganku mengatakan ini bukan mimpi…

Ya…

Warna merah itu mengalir di tanganku.

Darah Hikaru.

Manis.

Dan aku tidak dapat menepati janjiku pada Yuuto saat aku mulai menempelkan bibirku pada zat cair berbau menyengat itu.

*************************************************

“Hikaru-kun??!!!”

Ia sudah tertelungkup di atas lantai dengan darah yang menggenang di sekelilingnya saat aku kembali ke kamar. Ia meringis menahan rasa sakitnya. Nyaris pingsan kalau saja ia tak mempunyai tekat kuat untuk bertahan. Aku ingin membantu menyeka lukanya dengan handuk dan es batu yang kubawa. Tapi ia menolak. Mengusirku menjauh dan berusaha melakukannya sendirian.

“aku—hhh… lebih baik kau menjauh… aku tak ingin kau melihat ini… tutup—matamu… kumohon… ini akan mengerikan untukmu…” pintanya dengan nafas yang terputus-putus. Mencoba mempertahankan kesadarannya yang berada di ambang batas.

“tidak! Kau sudah pada batasmu. Akan ku bantu!”

“ja-JANGAN!!!”

Ia berteriak. Agak histeris saat aku menyibakan rambutnya yang lengket oleh darah.

Dan ini adalah hal yang paling mengerikan untukku.

Aku menarik nafas tajam.

Tercekat.

Seolah jantungku nyaris berhenti saat melihatnya.

Dan ia menangis.

Hikaru menangis…

“… Hikaru… di-di mana…”

Ia mencapat limit nya, dan pingsan di pelukanku.

Sambil menggenggam erat benda itu.

Telinga kirinya…

Yang hilang di balik rambutnya yang lengket oleh darah.


*************************************************

Apa yang harus ku lakukan…

Apa yang harus ku lakukan sekarang??

Apa??!

“Chii!!!”

Seruan-seruan itu memanggil nama ku diiringi dengan ketukan langkah sepatu mereka yang memburu, membentuk sebuah irama yang tak beraturan. Salah satu dari mereka menabrakkan dirinya padaku. Memelukku erat dengan tubuh yang bergetar hebat.

“…Inoo-chan…?”

Ia menangis.

“Chii…”

Seorang dari mereka lagi menepuk bahu ku dan memanggil namaku dengan suaranya yang tak kalah bergetar dari tubuh Inoochan. Keito.

“… Hikaru…?”

“dia… di kamar. Hampir tak terselamatkan jika saja tidak segera di bawa ke rumah sakit…”

Mereka menghela nafas. Kelegaan tampak dari wajah mereka yang memerah dan sembab. Kuduga, selama perjalanan ke sini, mereka tak henti-hentinya menangis dan berdoa untuk keselamatan Hikaru.

“a… aku mau melihat keadaan Hikaru…!” seru Daichan sambil maju selangkah ke hadapanku. Aku mengangguk meng-iyakan sambil melepas pelukan basah Inoochan dan menyeka air matanya dengan kaus yang kupakai.

“Di dalam masih ada kedua orang tuaku dan dokter. Kalian masuk saja.”

“keluarganya??”

“sebentar lagi akan datang”

Entah mengapa aku merasa ganjil sekali melihat member Hey! Say! JUMP yang tadinya 10 orang sekarang hanya terlihat sedikit sekali. Jadi hanya tersisa 5 dari kami kah??

Aku menegakkan seluruh jemari tanganku dan mulai berhitung sambil memperhatikan mereka semua yang memasuki ruangan bernomor 103 itu satu persatu dari belakang.
Dimulai dari Daichan yang menelan ludahnya dengan berat sebelum melangkah masuk.

Satu…

Keito yang menepuk kedua pipinya, berusaha untuk siap melihat kondisi Hikaru apapun yang telah terjadi padanya.

Dua…

Lalu Inoo yang menarik t-shirt Keito dari belakang dengan genggaman yang sangat erat. Ia masih menangis.

Tiga…

Ditambah Hikaru yang terbaring lemah di dalam. Nyaris mati kekurangan darah kalau saja saat itu orang tua ku tak terbangun karena mendengar jeritanku yang memanggil namanya dan segera melarikannya ke rumah sakit.

Empat…

Dan aku.

Lima…

“…mi-minna …”

Hanya sempat masuk setengah pintu, mereka kembali menoleh kearah panggilanku. Air muka mereka seketika memucat saat aku menanyakan hal yang sedari tadi membuatku ganjil itu.

“… dimana Takaki-kun…?”
*************************************************

[Fanfic] The Red Candy (7)

Darah Yuuto mengalir cepat di tenggorokanku.

Dari lengan itu.

Yang telah ku hisap berulang kali.

Tetap terasa segar dan hangat. . .

“kau akan mati kalau begini terus…” aku menatapnya lekat setelah darah yang tersisa di luka goresan nya habis. Hanya tersisa sedikit di ujung bibirku, Yuuto menyapunya dengan ibu jarinya dan menjilatnya.

“ekhh! Apa enaknya ini??!! Huek!!”

“Aku juga tidak tau apa yang enak dari cairan semacam itu… kalau bisa pun aku tidak mau melakukannya…” jawabku datar.

“Aku bisa memberikannya lagi untukmu kalau kau membutuhkannya…”

“Yamete… Aku tidak mau lagi…”

“bohong! Kau pasti akan tak terkendali lagi kalau melihat darah!”

“Aku bisa menahan diri…”

“Tidak! Kau takkan bisa! Aku tidak mau kalau teman-teman yang lain menuduhmu. Karena aku tau… Pembunuh itu bukan kau…”

Aku kembali menatapnya yang sedang duduk di sampingku, meremas erat lengan kemejanya. Ia tersenyum sendu.

“itu bukan aku…”

“ya… itu bukan kau… Dia mengejarku malam itu. Dan aku bertemu kau. Itu bukan kau…” katanya sambil mengusap kepalaku lembut. Membiarkanku bersandar pada lengannya yang kurus namun berotot. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.

Lalu terdiam.

Mulai berfikir secara acak.

Teringat pada Yamachan, Ryuu, dan Yabu-kun…

Teringat pada mata merah itu.

Teringat pada seringaiannya.

‘Dia’ yang membunuh teman-temanku…

“si pemberi permen itu…”

Kembali aku mengangguk, meng-iya kan. “unn… Dan tadi aku melihatnya berada di antara para pelayat…”

“eh?? Hontou?!!”

“unn… “

“…… Lain kali kalau kau melihatnya, bilang padaku ya… aku ingin sekali menghajar orang itu dan membunuhnya!!”

“aku takut…”

“… daijoubu! Kau tak usah khawatir! Aku yang akan membunuhnya. Kau cukup memberitahuku saja!”

“bukan…”

“eh?”

“dia pasti akan membuatku menjadi sejenisnya… Dia akan membuatku menjadi pembunuh… entah kapan, tapi suatu saat aku pasti akan berubah seperti 'dia'…”

Yuuto terdiam. Terlihat tegang karena tak dapat menemukan satu kalimat pun untuk menenangkanku.

“nee, Yuuto… Apa aku akan menjadi ‘dia’???”

Ia mendekapku. Erat dan hangat. Membuatku mengeluarkan lagi air mataku yang kukira sudah habis.

“kau tidak akan berubah… Selamanya takkan berubah…! Aku percaya itu…”


Dan itu adalah kehangatan Yuuto.


Yang terakhir kalinya kurasakan…

*****************************************************************

“I will be there seekin' for liminality
No destinations to see, I wander
In quiet places so dark as eternity
I'm crying calling your name
I'm searching for you.”


Merah.

Mata itu menatapku lekat.

Dengan darah yang berlumuran pada kedua matanya.

Kedua telinganya.

Mengalir dari hidungnya.

Mulutnya yang menyunggingkan senyum menakutkan.

Ia menunjukku.

Mengucapkan sepatah kata tanpa suara.

"... kamu selanjutnya..."



KRIIIIIIIIIIIIINNNGGGGG

Bunyi alarm di meja belajar ku membangunkan ku dari mimpi buruk itu. Dengan tubuh yang penuh keringat, aku bangkit dari tempat tidur untuk mematikan alarm yang berbunyi pukul 2 pagi.

Sejak kapan aku memasang alarm pukul 2 pagi??

"hhh... mimpi...?"

ya... Mimpi...

Mimpi yang sangat buruk...

Dan aku tetap berharap kabar tentang kematian Yuuto dua hari yang lalu juga hanyalah mimpi buruk ku.


tok tok

Dua ketukan pada kaca jendela kamar ku memecah keheningan pagi itu. Aku membuka tirai dengan perlahan. Entah mengapa aku bisa merasakan detak jantungku menggema di otak.

Dan warna merah itu muncul kembali di depan mataku ku.

Menetes dari rambutnya yang berwarna coklat.

Menodai kaca jendela kamar ku dan membuat tenggorokan ku tercekat.

Entah karena bau amis menyengat ini... atau wajah di balik jendela itu...


"HIKARU-KUN!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"



- bersambung -



maaf atas kekurangan di part yg ini.
berasa ga menarik banget. ga ada tegang2'a..
hhh..

gomen naa! TwT

[Fanfic] The Red Candy (6)

Noda merah.

Bercak-bercak di tirai.

Cipratan pada bantal.

Menghitam.


Tapi tidak tersisa di dirinya.

Tidak tersisa di Lubang mata nya.

Tidak tersisa di bola matanya yang terjatuh di lantai.

Tidak tersisa di otaknya yang tercecer di tempat tidur.

Tidak ada.

Warna merah setetes pun.


"kau sudah dengar?" para kerabat dari keluarga yang sedang berduka berbisik tepat di depan kami. Tak menghiraukan keberadaan kami yang juga adalah 'keluarga' Yabu-kun. "kudengar Kouta-kun tewas dibunuh dengan cara yang tidak manusiawi!"

Hikaru menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"ya... kudengar juga begitu... kasihan sekali..."

Inoochan dan Daichan terisak kencang.

"kenapa?"

Takaki menatap kosong.

"kudengar kedua bola matanya di congkel keluar..."

Keito menutup telinganya.

"...... dan... tengkorak kepalanya dipotong sampai otaknya tercecer keluar..."

Yuto mendadak berlari ke halaman rumah keluarga Yabu.

Dan, lagi. Ia memuntahkan seluruh isi perutnya.

"dan terakhir... tak tersisa setetes darah pun di tubuhnya...!!"

"eehh?! kejam sekali!!!"

Aku menangis.

Menjambak rambutku.

Menjerit penuh kegilaan.

Membuat seluruh tamu memandang ke arah kami dan saling berbisik.

Membuat kilatan blitz dari kamera para pencari berita membidik sosok kami.

Membuat 'si mata merah' menyeringai penuh kemenangan.

Membuatku menjerit lebih keras.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

"daijoubu, Hikaru??"

"un.. daijoubu. Maaf telah membuat keributan. Blitz-blitz kamera mereka membuatku kesal. Dan tanpa sadar aku meninju kamera itu."

"hh... kurasa kejadian ini akan menjadi headline di seluruh berita tivi atau koran besok."

Darah segar.

"Yeah... pasti... Sebaiknya luka mu cepat di bersihkan. Lihat darahnya banyak sekali!"

Merah.

"eh? Chii? kenapa?"

Bau amis yang menyegarkan.

"sa-SAKIT!!! Chii!! Jangan memencet luka-ku seperti itu! Kamu mau apa?"

Membuatku haus.

"CHII!!!"

Teriakan Yuuto seketika menyadarkanku yang sebentar lagi akan melahap tangan Hikaru-kun. Ia segera menyeretku ke suatu ruangan kosong di rumah keluarga Yabu. Membuat para member JUMP terheran-heran melihat kami berdua.

"Jangan melakukannya!" perintahnya sambil terus menggenggam tanganku. Tak membiarkanku kabur darinya dan mencicip darah Hikaru-kun setetes pun.
"tadi sudah ku beritahu, bukan? kalau kau melakukan itu, kau akan dicurigai sebagai pembunuhnya."

"... maafkan aku..."

Yuuto menghela nafas dan menghempaskan dirinya diatas sofa sambil mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku celananya. "Aku membawa benda ini untuk berjaga-jaga... Tapi... ini pasti akan sedikit sakit..." gumamnya.

"eh? kau mau ap--"


.............

Merah.

Hangat.

Bau yang menusuk.

Mengalir di tenggorokanku.